KerajaanMataram Kuno mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah di sebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur). Sepertikisah Kerajaan Sriwijaya, yang menjadi cikal bakal Mataram kuno. Lokasi tepatnya, kerajaan Mataram lama telah mengalami beberapa perubahan di istana karena bencana alam. Namun, di mata orang awam, sejarah Mataram kuno kerap dikacaukan dengan sejarah Mataram Islam. Faktanya, kedua kerajaan ini berjarak ratusan tahun dengan banyak perbedaan. Padapertengahan abad ke-8 di Jawa bagian tengah berdiri sebuah kerajaan baru. Kerajaan itu kita kenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Mengenai letak dan pusat Kerajaan Mataram Kuno tepatnya belum dapat dipastikan. Ada yang menyebutkan pusat kerajaan di Medang dan terletak di Poh Pitu. Sementara itu letak Poh Pitu sampai sekarang PetaKecamatan Muara Kaman. 1. Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri) 2. Maharaja Aswawarman (anak Kundungga) 3. Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Berikutbeberapa peta kuno keberadaan Sunda sebagai Jakarta di zaman Kerajaan. Atlas Ortelius Peta Indiae Orientalis, karya: Abraham Ortelius tahun 1584 Peta di atas adalah Atlas Ortelius. Kerajaan Mataram Islam pecah Kerajaan yang konon terpecah belah oleh VOC Belanda contohnya Mataram Islam yang terpecah menjadi 2 kerajaan yakni: Mataram Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. - Kerajaan Mataram Kuno adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berdiri di Jawa Tengah bagian selatan abad ke-8, lalu pindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Di Jawa Tengah, Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berada di Bhumi Mataram sekarang Yogyakarta. Dalam sejarahnya, pusat kerajaan ini kemudian mengalami beberapa kali perpindahan hingga sampai ke Jawa Mataram Kuno didirikan oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya yang berkuasa antara 732-760 M, dan kerajaan ini runtuh pada 1007 M. Lalu, apa penyebab runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno? Baca juga Kehidupan Ekonomi Kerajaan Mataram KunoRuntuhnya Kerajaan Mataram Kuno Keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno bermula ketika kerajaan ini terpecah menjadi dua bagian. Kerajaan Mataram Kuno pertama kali dipimpin oleh Raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Hal ini dibuktikan dengan Prasasti Canggal dan Carita Parahyangan. Selama memerintah, Raja Sanjaya dikenal sebagai sosok raja yang adil, bijaksana, dan taat beragama. Di bawah pemerintahannya juga, wilayah Kerajaan Mataram Kuno semakin meluas dan rakyatnya hidup sejahtera. - Sejarah Kerajaan Mataram Kuno cukup panjang yang dimulai sejak abad ke-6 M. Kerajaan Mataram Kuno atau sering juga disebut dengan Kerajaan Mataram Hindu atau Kerajaan Medang merupakan kerajaan penerus dari Kerajaan Kalingga di Jawa yang diperkirakan eksis pada abad ke-8 hingga 10 Masehi. Mataram Kuno yang bercorak Hindu dan Buddha biasanya disebut untuk membedakan dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri sekitar abad ke 16 M. Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya, di daerah inilah diperkirakan Kerajaan Mataram Kuno pertama berdiri. Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno berasal dari prasasti, candi, kitab Carita Parahyangan Sejarah Pasundan, dan berita dari Cina. Kerajaan yang didirikan oleh Sanjaya bergelar Rakai Mataram ini beberapa kali berpindah pusat Kerajaan Mataram Kuno Kerajaan Mataram Kuno memiliki dua periode berdasarkan lokasi atau ibu kota pemerintahannya. Pertama adalah periode awal Kerajaan Medang yaitu di Jawa Tengah di bawah Wangsa Sanjaya dan Sailendra 732-929 M, serta yang kedua ketika pindah ke Jawa Timur dan dikuasai oleh Wangsa Isyana 929-1016 M.Pada 929 M, Kerajaan Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Menurut George Coedes dalam The Indianized states of Southeast Asia 1968, ada beberapa faktor kemungkinan yang mendorong perpindahan adalah faktor politik, yakni sering terjadinya perebutan kekuasaan yang berimbas terhadap terancamnya kesatuan wilayah kerajaan ini. Kedua adalah faktor bencana alam, yaitu peristiwa meletusnya Gunung Merapi. Faktor ketiga adalah adanya potensi ancaman dari kerajaan lain, termasuk serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Sedangkan faktor keempat adalah motif keagamaan dan ekonomi, termasuk ketiadaan pelabuhan yang membuat Kerajaan Mataram Kuno sulit menjalin kerja sama dengan kerajaan tepatnya pusat Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Tengah diperkirakan berada di Bhumi Mataram atau Yogyakarta pada masa awal berdirinya di bawah pemerintahan Rakai Mataram Sang juga Misteri Sejarah Candi Dieng, Asal-Usul, dan Siapa Pendirinya? Letusan Gunung Merapi yang Konon Mengubah Sejarah Jawa Sejarah Candi Sambisari Pernah Terkubur Letusan Gunung Merapi Kemudian, lokasi ibu kota kerajaan ini sempat berpindah-pindah, antara lain ke Mamrati pada masa Rakai Pikatan, pada era Dyah Balitung Rakai Watukura dipindahkan ke Poh Pitu, dan sempat kembali lagi ke Bhumi Mataram pada masa Dyah Wawa Rakai Sumba. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan berada di antara wilayah Yogyakarta hingga Jawa Tengah bagian selatan Magelang atau Kedu.Kerajaan Mataram Kuno punya banyak peninggalan yang berupa candi-candi megah, termasuk Candi Borobudur di Magelang, Candi Prambanan, Candi Kalasan, dan Candi Sewu di Yogyakarta, serta beberapa candi dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok yang kemudian bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa 929-947, Kerajaan Mataram Kuno menempati pusat pemerintahan di daerah yang disebut berikutnya terjadi lagi perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur atau era Dinasti Isyana, yakni dipindahkan ke Watugaluh. Dikutiip dari buku Antologi Sejarah Candi Boyolangu 2016 tulisan Lailatul Mahfudhoh, Tamwlang maupun Watugaluh diperkirakan terletak di sekitar Jombang, Jawa Kerajaan Medang runtuh pada awal abad ke-9 M, selanjutnya muncul kerajaan-kerajaan penerus Wangsa Mataram, dari Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singhasari, Majapahit, Demak, Jipang, Giri, Kalinyamat, Pajang, hingga era Mataram Islam yang memunculkan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, serta juga Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Lokasi, & Pusat Pengajaran Agama Buddha Ratu Pramodhawardani Kawin Beda Agama, Menganjurkan Toleransi Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga 674-695 M Toleransi Beragama Masa Mataram Kuno Kerajaan Mataram Kuno terkenal dengan toleransi beragama yang kuat antara umat Hindu dengan Buddha, seperti terlihat dalam pembangunan Candi Borobudur, Candi Kalasan, Candi Prambanan, dan lainnya. Hal ini tidak terlepas dari peran para pemimpinnya yang mengajarkan masa kekuasaan Mataram Kuno raja-raja dan rakyat yang memiliki perbedaan agama merupakan hal yang biasa. Antara raja dengan rakyat tidak harus beragama sama. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya sisa-sisa candi Syiwa Hindu di sekitar Candi Borobudur Buddha, demikian dikutip dari jurnal terbitan Departemen Arkeolog FIB Universitas satu contohnya adalah pernikahan antara Pramodawardhani putri Rakai Garung alias Samaratungga dari Dinasti Sailendra yang memeluk agama Buddha-Mahayana, dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang beragama Pikatan dan Maharatu Pramodawardhani bersama-sama memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada periode 840-856 M, dan menghasilkan banyak candi-candi megah di wilayah Yogyakarta dan Jawa juga Sejarah Keruntuhan Kerajaan Majapahit & Prasasti Peninggalannya Sejarah Candi Borobudur Pembangunan hingga Menjadi Warisan Dunia Kerajaan-kerajaan Bercorak Hindu Buddha di Indonesia Raja-Raja Mataram Kuno Periode Jawa Tengah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya 732-760 MRakai Panangkaran 760-780 MRakai Panunggalan alias Dharanindra 780-800 MRakai Warak alias Samaragrawira 800-820 MRakai Garung alias Samaratungga 820-840 MRakai Pikatan dan Maharatu Pramodawardhani 840-856 MRakai Kayuwani alias Dyah Lokapala 856-882 MRakai Watuhumalang 882-899 MRakai Watukura Dyah Balitung 898-915 MMpu Daksa 915-919 MRakai Layang Dyah Tulodong 919-924 MRakai Sumba Dyah Wawa 924 MPeriode Jawa TimurRakai Hino Sri Isana alias Mpu Sindok 929-947 MSri Lokapala dan Ratu Sri Isanatunggawijaya sejak 947 MMakutawangsawardhana hingga 985 MDharmawangsa Teguh 985-1007 M - Sosial Budaya Kontributor Balqis FallahndaPenulis Balqis FallahndaEditor Iswara N Raditya 90% found this document useful 21 votes67K views12 pagesDescriptionberisi kerajaan-kerajaan hindu buddha di indonesiaOriginal TitlePETA KONSEP KERAJAAN-KARAJAAN HINDU BUDDHA DI INDONESIACopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?90% found this document useful 21 votes67K views12 pagesPeta Konsep Kerajaan-Karajaan Hindu Buddha Di IndonesiaOriginal TitlePETA KONSEP KERAJAAN-KARAJAAN HINDU BUDDHA DI INDONESIA - Kerajaan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang berkuasa antara abad ke-16 hingga abad ke-18. Pendiri Kerajaan Mataram Islam adalah Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan ketika diperintah oleh Sultan Agung 1613-1645 M.Di bawah kekuasaannya, Mataram mampu menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Selain itu, kerajaan yang terletak di Kotagede, Yogyakarta, ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah didirikannya loji-loji dagang di pantai utara. Masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam berakhir pada 1755 M, setelah ditandatangi Perjanjian Giyanti yang disepakati bersama kesepakatan tersebut, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari Kasunanan Surakarta. Baca juga Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Islam Berdirinya Kerajaan Mataram Islam Sejarah Kerajaan Mataram Islam dimulai ketika Ki Ageng Pemanahan membantu Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, mengalahkan Arya Penangsang dari Jipang. Atas jasanya, Ki Ageng Pemanahan dianugerahi wilayah tanah di hutan Mentaok sekarang Kotagede, Yogyakarta. Ki Ageng Pemanahan membangun tanah tersebut menjadi desa yang makmur dan setelah ia meninggal, perannya diteruskan oleh putranya, Danang Sutawijaya Raden Ngabehi Loring Pasar. Kerajaan Matarām Kuna merupakan salah satu kerajaan yang mempunyai rentang waktu yang cukup panjang 3 abad. Nama Matarām Kuna muncul pertama kali pada masa pemerintahan raja Sañjaya yang memerintah sejak tahun 717 M atau permulaan abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-10, yaitu sampai dengan masa pemerintahan Rakai Sumba/ Paɳkaja Dyaḥ Wawa. Matarām berkembang di Jawa Tengah dengan ibukotanya Mḍang di wilayah Poh Pitu. Kerajaan Matarām yang berpusat di Jawa Tengah mengalami masa kejayaan dibawah pemerintahan Raja Balituɳ. Pada saat itu, wilayah kekuasaannya terbentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Misalnya daerah Malang merupukan wilayah kekuasaan Matarām sewaktu masih di Jawa Tengah. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan Prasasti Saɳguran, 850 Śaka =2 Agustus 928 M, yang ditemukan di Malang dan dibuat atas perintah Raja Dyaḥ Wawa. Data yang dapat membantu kita dalam menjelaskan perdagangan masa Matarām Kuna adalah sumber-sumber tertulis yang berupa prasasti, karya sastra, maupun berita-berita dan catatan Cina dari masa tersebut, serta data relief dari candi-candi dan artefak yang sezaman. Pusat kerajaan Matarām Kuna terletak di di Jawa Tengah dengan intinya sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi – Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur sehingga mendorong masyarakat setempat membangun pertanian dengan membuka lahan-lahan pertanian dengan ditanami aneka tanaman pertanian seperti padi dan rempah. Dalam prasasti Kayuwaṅi-Balituɳ abad 9-10 M, telah dikenal nama pejabat apkan, apekan, mapakkan, mapakan, mapkan, mapěkan, yaitu pejabat yang menangani hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan/pasar. Juga terdapat istilah abakul, adagang dan banyāga, yang berarti pedagang. Jan Wisseman Christie mengartikannya menjadi, Abakul pedagang eceran, Adagang pedagang besar, antar pulau, internasional dan Banyāga pedagang grosir. Petunjuk mengenai kemungkinan adanya kelompok-kelompok pedagang dapat diketahui dari jenis-jenis barang yang mereka perdagangkan atau cara-caranya barang-barang dagangan tersebut diangkut. Kelompok makanan dan bumbu-bumbuan atau komoditi di bidang pertanian terdiri dari bawang bawang, bras beras, garam/wuyah garam, gula, inga minyak, pipakan/kapulaga jahe, tanaman jahe; wwahan/pucang sireh buah-buahan terutama pinang, lada, kelapa, cabai, kemukus, kapas, kapulaga, mengkudu, kesumba dan bunga. Yang sebagian juga disebutkan dalam berita Cina maupun teks Rāmāyaṇa, yaitu palawija seperti labu, ubi, talas atau keladi, beligo, kacan, jelai, jewawut, terong, dan cabai. Dalam prasasti Pihak Kamalagī atau Kuburan Candi tahun 743 Śaka 831 M menyebutkan sawah, lading, rawa dan kebun menjadi sīma dimana lahan tersebut tidak dikenakan pajak. Adapun yang termasuk dalam kategori hewan adalah hewan besar yang terdiri dari kbo kerbau, sapi, wdus kambing, celeng babi, unggas terutama andah itik dan telurnya. Seperti yang tercatat dalam prasasti Muṇḍuan yang berangka tahun 728 Śaka 806 M yang menyebutkan adanya penjualan hewan ternak dalam jumlah besar. Selain hewan darat, ikan juga menjadi salah satu komoditi perdagangan kategori hewan. Dalam prasasti Paṅgumulan A, Rukam 829 Śaka/907 M, dituliskan juga berbagai jenis ikan baik ikan segar, maupun pja ikan laut/asin, atau ikan yang sudah dikeringkan juga menjadi barang dagangan pada masa ini. Termasuk golongan sandang adalah wasana pakaian, amahang/kasumbha/pamajabahan pewarna, kapas, lawe benang. Kategori perlengkapan umum adalah galuhan batu permata, gangsa perunggu, anganam keranjang; labeh kulit penyu, makacapuri kotak sirih; mangawari permata, masayang/tamwaga peralatan tembaga, tambra lempeng tembaga, timah, wsi besi. Barang-barang dagang golongan sandang ini dituliskan di prasasti Rukam, Wukajana dan Lintakan yang berangka tahun 841 Śaka 919 M. Keterangan yang lebih lengkap mengenai komoditi ekspor maupun impor lebih banyak diperoleh dari berita-berita Cina, antara lain kain sutra, paying sutra dari Cina, pedang dari Timur Tengah dan India, nila, lilin batik, belanga besi berkaki tiga, piring dan mangkuk bervernis, keramik Cina terutama yang berwarna biru-putih, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan tembaga. Bukti bahwa masyarakat Matarām Kuna telah mengimpor kain adalah dengan ditemukannya sebutan pada prasasti-prasasti, diantaranya wḍihan bwat kliɳ putiḥ wḍihan buatan Kling putih pada prasasti Juruṅan 798 Śaka 876 M, kain bwat waitan kain buatan Timur dalam prasasti Taji tahun 823 Śaka 901 M, dan kain bwat lor kain buatan Utara dalam prasasti Sara ṅan tahun 851 Śaka 929 M Selain para penjual barang dagangan, dalam prasasti dan naskah banyak yang menyebutkan bahwa pada masa ini masyarakatnya juga ada yang menjual jasa yang disebut maṅilala drawya haji abdi istana yang tidak memperoleh daerah lungguh sebagai imbalan jasanya, tetapi mendapatkan gaji berupa uang. Maṅilala drawya haji memiliki tugas yang bermacam-macam, diantaranya para petugas pajak wilaɳthāni wlaɳ wanua, dan para abdi dalem istana, antara lain pasukan pengawal istana magalaḥ, mamanaḥ, magaṇdi, para pembuat perhiasan maniga, maɳrumban, pamaṇikan, seniman dan seni wati seperti pesinden widu, paṅiduɳ, dalangmawayaɳ, penari topeng maɳrakat, matapukan, manapal, pelawak mabañol, mamirus, serta pemusik mapaḍahi, maregaɳ, mabrekuk, pembuat benda-benda tanah liat maɳdyun, pembuat gula maɳgula, pembuat kapur maɳhapῡ, pembuat arang maɳharen, pembuat barang-barang anyaman maɳañamañam, pembuat payung magawai payuɳ wlῡ, pembuat upih mopih, pembuat kisimagawai kisi, pembuat rungki maruɳki, pembuat kajang magawai kajaɳ, tukang soga maɳlākha, pembuat bahan cat warna merah mañawrɳ /maṅubar, pembuat benang maṅapus, pembuat tarubmatarub, pembuat jaring manawaɳ, pembuat bubut mamubut, pembuat sarang burung manahab/mamisaṇḍuɳ, pembuat cat warna hitam mañambul, pembuat pernis ? mapaṅaṅan, pembuat jerat binatang makalakala, pembuat minyak jarak maɳluruɳ, pandai mas paṇḍai mas, pandai besi paṇḍai wsi, pandai tembaga paṇḍai tamwaga, pandai perunggu paṇḍai tamra, pandai dandang paṇḍai daɳ , pandai kawat paṇḍai kawat, dan tukang kayu uṇḍahagi. Para pengrajin mengerjakan pekerjaan sesuai dengan keahliannya masing-masing dan sesuai dengan bahan baku yang dipakai seperti yang tertulis pada prasasti Saɳguran dari tahun 850 Śaka 928 M yang dikeluarkan oleh Rakai Paɳkaja Dyaḥ Wawa, menyebutkan tentang peresmian sebuah desa atau sekelompok desa yang menghasilkan jenis produksi tertentu di daerah Manañjuɳ Mengenai distribusi, meskipun hanya tersirat didalam prasasti tetapi dapat kita temukan penggambaran adanya aliran barang dagang tertentu, seperti adanya barang dagang hasil produksi dari daerah pantai yang dikonsumsi oleh masyarakat di pegunungan. Hal tersebut tentu erat kaitannya dengan suatu jaringan transportasi yang memperlancar transaksi. Pada masa raja Balituɳ perdagangan mulai mendapat perhatian. Jalur-jalur yang dipakai para pedagang ialah jalur darat, pedagang yang membawa dagangannya dalam jumah besar menggunakan pedati atau gerobak padati, mapadati, magulunan, pedagang laki-laki yang dalam jumlah sedikit diangkut menggunakan kuda atau sapi atitih atau dibawa dengan pikulan pinikul dagaɳnya, sedangkan pedagang wanita menggunakan bakul yang digendong di belakang dengan memakai kain gendongan. Untuk jalur suangai, barang dagangan diangkut menggunakan perahu maparahu. Jalur sungai mempunyai peranan dalam perdagangan. Perahu dipakai sebagai alat trasportasi disebutkan dalam prasasti Tlaɳ yang berangka tahun 825 Śaka 903 M. Pada masa Raja Balituɳ aktivitas perhubungan dan perdagangan dikembangkan lewat Sungai Bengawan Solo. Pada Prasasti Wonogiri 903 yang dikeluarkan oleh Raja Balituɳ disebutkan bahwa raja memerintahkan untuk membuat pusat-pusat perdagangan dan penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo yang menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalui aliran sungai tersebut. Bengawan Solo adalah sungai yang berhulu di bukit sebelah selatan Surakarta yang tadinya hanya berupa sungai kecil yang semakin membesar karena adanya pertemuan dengan sungai-sungai lain. Sungai ini melalui Sukowati Jagaraga, Madiun, Jipang, Blora, Tuban, Sedayu, dan bermuara di Gresik yang memungkinkan perahu kecil dan sedang mengarunginya sampai jauh ke pedalaman. Sebagai imbalan kepada penduduk desa di kanan-kiri sungai Bengawan Solo, raja memutuskan bahwa mereka dibebaskan dari pungutan pajak. Selain itu ada juga prasasti Kaladi yang berangka tahun 831 Śaka 909 M yang juga menjelaskan mengenai usaha pemerintah pada masa itu dalam membuat sarana trasportasi menggunakan sungai. Lancarya pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Matarām Kuna. Yang menakjubkan, Kerajaan Medang atau disebut juga Mataram Hindu ternyata sebuah kerajaan dengan wilayah pengaruhnya hingga ke Filipina. Bukti hai tersebut tertera dalam prasasti Keping Tembaga Laguna Filipina. Prasasti Keping Tembaga Laguna atau Lempeng Tembaga Laguna ditemukan tahun 1989 di Laguna de Bay, Manila, Filipina. Adalah penambang pasir yang bekerja di sungai Lumbang di daerah Laguna, Filipina, menemukan gulungan tembaga dengan tulisan-tulisan yang aneh tertera di atasnya. Penanggalan yang tertera menunjukkan tahun 822 Saka, atau 21 April, 900 M pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu Prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuna meskipun banyak kata-kata dari bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuna, dan bahasa Tagalog Kuna, serta ditulis dengan aksara Kawi. Isi prasasti ini mengenai pernyataan pembebasan hutang emas terhadap seseorang bernama Namwaran. Di dalamnya juga menyebutkan sejumlah nama tempat di sekitar Filipina Tondo, Pila, dan Pulilan, serta menyebut nama "Mdang" kemungkinan besar Kerajaan Medang di Jawa, serta beberapa tempat yang belum bisa dipastikan seperti Dewata. Prasasti ini menjadi petunjuk mengenai adanya pengaruh Kerajaan Medang di Pulau Luzon pada awal abad ke-10. Sekarang dokumen ini tersimpan di Museum Nasional Filipina. Prasasti ini, bersama dengan penemuan lain yang diketemukan akhir-akhir ini di negara tersebut seperti Golden Tiara dari Butuan, tembikar dan artifak perhiasan emas dari abad ke-14 yang ditemukan di Cebu, merupakan hal yang sangat penting dalam upaya merevisi sejarah kuno Filipina 900–1521. Isi prasasti tersebut adalah Swasti Shaka warsatita 822 Waisaka masa ding jyotisa. Caturthi Krisnapaksa somawara sana tatkala Dayang Angkatan lawan dengan nya sanak barngaran si Bukah anak da dang Hwan Namwaran dibari waradana wi shuddhapattra ulih sang pamegat senapati di Tundun barjadi dang Hwan Nayaka tuhan Pailah Jayadewa. Di krama dang Hwan Namwaran dengan dang kayastha shuddha nu diparlappas hutang da walenda Kati 1 Suwarna 8 di hadapan dang Huwan Nayaka tuhan Puliran Kasumuran. dang Hwan Nayaka tuhan Pailah barjadi ganashakti. Dang Hwan Nayaka tuhan Binwangan barjadi bishruta tathapi sadana sanak kapawaris ulih sang pamegat dewata [ba]rjadi sang pamegat Medang dari bhaktinda diparhulun sang pamegat. Ya makanya sadanya anak cucu dang Hwan Namwaran shuddha ya kapawaris dihutang da dang Hwan Namwaran di sang pamegat 'Dewata. Ini grang syat syapanta ha pashkat ding ari kamudyan ada grang urang barujara welung lappas hutang da dang Hwa ... Terjemahan bebas "Swasti. Tahun Saka 822, bulan Waisakha, menurut penanggalan. Hari keempat setelah bulan mati, Senin. Di saat ini, Dayang Angkatan, dan saudaranya yang bernama si Bukah, anak-anak dari Sang Tuan Namwaran, diberikan sebuah dokumen pengampunan penuh dari Sang Pemegang Pimpinan di Tundun Tondo sekarang, diwakili oleh Sang Tuan Nayaka dari Pailah Pila sekarang, Jayadewa." "Atas perintahnya, secara tertulis, Sang Tuan Namwaran telah dimaafkan sepenuhnya dan dibebaskan dari hutang-hutangnya sebanyak satu Katî dan delapan Suwarna di hadapan Sang Tuan Puliran Kasumuran di bawah petunjuk dari Sang Tuan Nayaka di Pailah." "Oleh karena kesetiaannya dalam berbakti, Sang Tuan Yang Terhormat yang termasyhur dari Binwangan mengakui semua kerabat Namwaran yang masih hidup, yang telah diklaim oleh Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang. Ya, oleh sebab itu seluruh anak cucu Sang Tuan Namwaran sudah dimaafkan dari segala hutang Sang Tuan Namwaran kepada Sang penguasa Dewata. Pernyataan ini, dengan demikian, menjelaskan kepada siapa pun setelahnya, bahwa jika di masa depan ada orang yang mengatakan belum bebas hutangnya Sang Tuan ..." Selain hal tersebut ternyata penduduk Matarām Kuna tidak hanya dikenal pandai bertani, tetapi juga pandai membuat beragam kerajinan kemudian dimasa pemerintahan Dyah Balituɳ pun kerajinan tangan mulai dikembangkan sehingga pusat-pusat perdagangan dikawasan kerajaan Matarām Kuna tidak hanya seputar dunia pertanian melainkan juga beragam tempat traksaksi jual beli kerajinan tangan seperti tembikar, giok, gerabah tidak saja terbuat dari tanah liat, batu tetapi kerajinan emas dan perak. Beragam kerajinan awalnya dibuat untuk kalangan keraton Matarām Kuna perkembangannya kalangan elit dimasa lalu memiliki koleksi aneka kerajinan tembikar dan emas. Pusat perdagangan yang dibuat Dyah Balituɳ telah meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan rakyat Matarām Kuna. Perak adalah salah satu barang dagangan yang dibawa pedagang asing seperti pedagang Tiongkok, India dan negara lainnya sebagaimana tercatat dalam kronik Tiongkok yang diduga telah ada hubungan diplomatik terungkap dalam catatan Tiongkok Hsin Tsing Shu 618-906 dan sejarah Rajakula Sung 906-1279 tentang keadaan pulau Jawa saat itu. Kemajuan ekonomi kerajaan Matarām Kuna terlihat dari mata uang logam terbuat dari emas atau perak dikenal dengan nama mata uang emas tahil yang diduga sebagai alat pembayaran sah mataram kuno kala itu. Perdagangan yang dilakukan di pasar memiliki suatu sistem, dimana adanya organisasi yang saling terkait. Dalam sistem pasar pada masa Matarām Kuna terdapat beberapa komponen-komponen, yaitu riotasi, produksi, distribusi, transportasi dan transaksi, yang dimana semua komponen-komponen tersebut saling berkaitan satu sama lain dan saling ketergantungan. Pada masyarakat Jawa Kuno dikenal konsep pañatur desa dan panatsa desa yang dimasa kemudian dikenal dengan konsep mañcapat dan mancalima, yaitu suatu desa induk dikelilingi oleh empat desa yang terletak di arah empat penjuru mata angin, atau dikelilingi oleh delapan desa di delapan penjuru mata angin. Konsep tersebut merupakan tanda rasa kerukunan sebuah desa dengan keempat atau kedelapan desa tetangganya dan dikaitkan juga dengan sistem klasifikasi hari-hari pasar yang lima atau pancawara dengan mengatur rotasi hari-hari pasar pada desa-desa tertentu. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya prasasti Paṅgumulan A yang berangka tahun 824 Śaka yang dikeluarkan oleh raja Balituɳ berisikan adanya sebuah kegiatan hari pasar yang mana para pedagangnya berasal dari desa yang sedang hari pasar dan desa-desa lainnya berdatangan membawa dagangannya ke pasar. Ada juga prasasti Purworejo 900 M yang menjelaskan tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking Pahing, pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa sebelah utara. Pembangunan pusat-pusat perdagangan juga terus dikembangkan sebagai pusat transaksi jual beli barang dagangan yakni dengan membangun dan menetapkan desa dalam suatu wilayah sebagai desa perdikan yang dijelaskan oleh Dyah Balituɳ disejumlah prasasti penting salah satunya prasasti Ayam Teas yang disebutkan desa Ayam Teas dijadikan sebagai tanah perdikan dan sebagai tempat pedagang. Prasasti Ayam Teas yang berangka tahun 822 Śaka atau tahun 900 M, disebutkan desa Ayam Teas yang dijadikan sebagai tanah perdikan sebagai tempat pedagang. Tempat tersebut tidak diperbolehkan dilewati oleh para petugas pajak, dijadikan sīma. Dan hanya 3 pejabat dari setiap daerah bebas yang diperbolehkan membawa secara bebas 20 ekor kerbau, 40 ekor sapi, 80 ekor kambing dan telur satu kandang dalam kendaraan. Dengan demikian jelaslah bahwa pada masa kekuasaan Dyah Balituɳ selain pertanian dengan sistem irigasi, tata niaga, peternakan, kerajinan dan perpajakan juga sudah berjalan secara teratur. Prasasti lain yang menjelaskan tentang desa perdikan yakni prasasti Mantyasih 907 ditemukan dikampung Mateseh, Magelang Utara berisi tentang desa Mantyasih yang ditetapkan Dyah Balituɳ sebagai daerah bebas pajak Prasasti ini masih berdiri megah di kampung Mateseh berupa lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan dan prasasti Mantyasih juga menjelaskan tentang keberadaan gunung Susundara dan Wukir Sumbing. Adapun peraturan lain adalah peraturan yang berkaitan dengan pembayaran pajak. Pajak yang dikenakan kepada para pedagang tidak diketahui jelas berapa jumlahnya, karena di dalam prasasti hanya dituliskan jumlah maksimal barang-barang yang boleh di perdagangkan. Jika jumlah barang dagangan lebih dari yang ditentukan maka sisanya akan dikenakan pajak, contohnya adalah peraturan pajak yang tertulis di prasasti Liṅgasuntan yang berangka tahun 851 Śaka 929 M, yaitu =semua pedagang yang ada di [daerah yang dijadikan] sīma dibatasi jumlahnya, yang tidak dikenakan pajak [adalah] tiga tuhān untuk semua pedagang. Jika pedagang kerbau batasnya 30 [ekor], sapi [batasnya] 40 [ekor], kambing [batasnya] 80 [ekor], itik [batasnya] satu wantayan, [brang-barang yang di angkut] pedati [batasnya] tiga pasang, pembuat karah [batasannya] tiga lumpaɳ, [barang-barang yang diangkut oleh] kuda [batasannya] satu kulit, paṇḍai [logam, batasannya] tiga ububan, tukang kayu [batasannya] satu tuhān, paḍahi [batasannya] tiga taṅkilan, pemintal kain [batasannya] empat pemintal, [barang-barang yang diangkut] perahu [batasannya] satu perahu dengan tiga tiang tanpa geladak. Jika dipikul dagangannya seperti pakaian, barang-barang tembaga, kotak sirih, pedagang kapas, mengkudu, [barang-barang dari] besi, tembaga, [dan] perunggu, timah, garam, paḍat, minyak, beras, gula, pamaja, bsar, kasumba, [dan] segala macam jenis barang-barang yang dijual [dengan] dipikul [batasnya] lima bantalan dalam satu tuhān. Hanya pedagang-pedagang pikulan di dalam sīma yang demikian yang tidak kena oleh maṅilala drabya haji yang berlainan setiap desa. Jika melebihi dari apa yang ditetapkan [maka] selebihnya [untuk] sodhara haji tanpa kecuali. Dari Prasasti Warudu Kidul diperoleh informasi adanya sekumpulan orang asing yang berdiam di Matarām Kuna. Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih mahal daripada rakyat pribumi Matarām. Kemungkinan besar mereka itu adalah para saudagar dari luar negeri. Namun, sumber-sumber lokal tidak memperinci lebih lanjut tentang orang-orang asing ini. Kemungkinan besar mereka adalah kaum migran dari Cina. Berita Cina menyebutkan adanya dua bentuk transaksi masa Matarām Kuna, yaitu barter dan menggunakan mata uang sebagai alat tukar. Mata uang biasanya hanya digunakan pada saat membeli tanah atau barang-barang berharga saja karena nilai mata uang sangat besar, sedangkan untuk membeli sesuatu yang murah hanya dilakukan dengan barter. Mata uang pada masa Matarām Kuna adalah mata uang pertama yang ada di Indonesia, dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi. Berita dinasti Song menyebutkan bahwa penduduk Jawa pada mesa itu memakai potongan-potongan emas dan perak yang menjad alat tukar, sedangkan Chau Ju Kua menyebutkan mata uang yang dipakai dibuat dari campuran perak, tembaga dan timah yang dipotong seperti dadu dan diberi cap. Koin atau mata uang yang terbuat dari emas berbentuk kecil seperti kotak. 60 biji mata uang ini bernilai 1 talih emas, dan 32 biji sama dengan ½ talih. Mata uang ini dikenal dengan uang Jawa she-p’o-kin, sedangkan berdasarkan data prasasti satuan uang emas itu disebut dengan istilah kāti, suwarṇa, māsa dan kupaɳ. Sedangkan uang perak dikenal dengan sebutan kāti, dhārana, māsa dan kupaɳ Satu kāti sama dengan 20 dhārana atau 20 suwarṇa atau satu talih sama dengan 16 māsa dan 1 māsa sama dengan 4 kupaɳ. Pada mata uang perak dikenal juga istilah atak yang nilainya sama dengan 2 kupaɳ atau ½ māsa, jadi 1 māsa sama dengan 4 kupaɳ. Uang emas pada bagian depannya terdapat huruf devanāgarī “ta” singkatan dari tahil. Di belakangnya terdapat incuse lekukan ke dalam yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan “Sesame Seed”. Sedangkan koin perak Māsa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “mā”, singkatan dari māsa atau “ku”, singkatan dari kupaɳ, dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”. Bentuk kupaɳ lebih cekung dai pada māsa. Koin-koin atau mata uang tersebut, mempunyai berat yang sama, yaitu māsa beratnya 2,4-2,5 gram dengan diameter 12-15 mm sama dengan 2 atak atau 4 kupaɳ, atak beratnya 1-1,2 gram sama dengan ½ māsa dan satu kupaɳ yang beratnya 0,5-0,7 gram sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak. Berita Cina maupun teks Rāmāyaṇa yang menjelaskan mengenai komoditi atau makanan dan bumbu-bumbuan yang diperdagangkan pada masa Mataram Kuna. Perak adalah salah satu barang dagangan yang dibawa pedagang asing seperti pedagang Tiongkok, India dan negara lainnya sebagaimana tercatat dalam kronik Tiongkok yang diduga telah ada hubungan diplomatik terungkap dalam catatan Tiongkok Hsin Tsing Shu 618-906 dan sejarah Rajakula Sung 906-1279 tentang keadaan pulau Jawa saat itu. Kemajuan ekonomi kerajaan Matarām Kuna terlihat dari mata uang logam terbuat dari emas atau perak dikenal dengan nama mata uang emas tahil yang diduga sebagai alat pembayaran sah Mataram Kuno kala itu. Berita Cina menyebutkan adanya dua bentuk transaksi masa Matarām Kuna, yaitu barter dan menggunakan mata uang sebagai alat tukar. Berita dinasti Song menyebutkan bahwa penduduk Jawa pada masa itu memakai potongan-potongan emas dan perak yang menjad alat tukar. Berita Chau Ju Kua menyebutkan mata uang yang dipakai dibuat dari campuran perak, tembaga dan timah yang dipotong seperti dadu dan diberi cap. Referensi 1. Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar di Jawa Mesa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi. Bandung PT. Kiblat Buku Utama 2. Jones, Barrett M. Antoinette. 1984. Early Tenth Century Java From The Inscriptons. Dodrecht-Holland Foris Publication 3. Sumadio, bambang ed.. 1984. Sejarah Nasonal Indonesia II. Jakarta Balai Pustaka 4. Boechari. 2012. Melacak Jejak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia 5. Wheatlet, Paul. 1959. Geographical Notes on some Commodities involved in Sung Martme Trade, dalam JMBRAS, vol. 32. Singapore 6. Y, Ninie Soesanti dan Irmawati M Johan. 1992/1993. Laporan Penelitian Mata Uang Kuna di Indonesia Sebuah TInjauan Sejarah Ekonomi Abad 9-17 Masehi. Depok Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. 7. Mahanizar. 1988. Upacara Penetapan Sima Pada Mesa Rakai Kayuwangi Dyah LOkapala dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Skripsi" 8. Prasasti AYAM TEAS III 822 Ś = 900 M" BPCB Jawa Tengah 11 Mei 2019. 9. Prasasti Keping Tembaga Laguna, Filiphina. Diambil dari karya Shofa Nurhidayati yang penulis sadur. Dengan judul "Epigrafi Indonesia Kuno “Perdagangan Masa Mataram Jawa Tengah Abad 8 – 10 M”, kita ungkap selengkapnya.

peta konsep kerajaan mataram kuno