a. muttasil sanadnya (ittisal as-sanad) artinya setiap hadits yang yang diriwayatkan oleh rowi tali -temali, sehingga sambung dalam penerimaan haditsnya kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, akan mengecualikan hadits yang munqoti', muaddlol, mua'llaq dan mursal. b). Diriwayatkan oleh rawi yang 'adil, artinya adil dalam DalamShahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Qatadah dari Anas bin Malik ra yang berkata, "Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw hingga mereka menekan beliau dalam pertanyaan mereka.Beliau marah kemudian naik mimbar dan bersabda, 'Pada hari ini kalian tidak menanyakan sesuatu apa pun kepadaku melainkan aku menjelaskannya. TanyaJawab tentang Aqidah. Published on Saturday, 22 June 2013 22:12 | Hits: 165278. Hadits-hadits shahih di atas dan riwayat-riwayat lainnya yang semisal, semuanya menunjukkan larangan sholat di masjid-masjid yang ada kuburannya, serta laknatan bagi siapa yang melakukan-nya, bahkan terdapat riwayat dari Jabir r.a dari Rasulullah Saw Soaldan Jawaban Tentang Hadis Hasan Burhan Hadis , Soal-soal Soal dan Jawaban Hadis Postingan ini ditujukkan untuk memenuhi UTS Ulumul Hadis tentang struktur hadis, hadis kodifikasi dan hadis pra-kodifikasi. 2. Jelaskan Pengertian sanad, matan dan rawi dari berbagai ulama atau penulis ilmu hadist. Pengertian Sanad Setidaknyaada lima makna pertanyaan. Pertama, ingin tahu. Bertanya, karena ingin tahu sesuatu atau fenomena adalah awal mula ilmu pengetahuan. Orang yang bertanya bukan bodoh, melainkan orang yang tahu kalau dia tidak tahu (rajulun yadri annahu laa yadri). Ada ungkapan, assuaalu nishful jawabun (pertanyaan separuh dari jawaban). Vay Tiền Trả Góp 24 Tháng. Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman. Dalam kajian ini kami ketengahkan beberapa hal yang berkenaan dengan ilmu hadits, yang kiranya perlu kita ketahui untuk menambah wawasan dan kami kemas dalam bentuk tanya jawab sehingga lebih mudah untuk dipahami. TANYA Kenapa kita harus menuntut ilmu Hadits? JAWAB Karena ia merupakan ilmu yang paling mulia, karena para penuntutnya adalah orang-orang yang menjadi lentera kegelapan. Kalau kita melihat keempat imam madzhab, tiga orang dari mereka selain Abu Hanifah dikenal sebagai ahli hadits. Imam Malik memiliki kitab al-Muwaththa` yang berisi banyak hadits. Imam asy-Syafi’i memiliki kitab al-Umm yang banyak berisi hadits-hadits yang beliau ketengahkan sendiri dengan sanadnya, demikian juga dengan bukunya yang terkenal ar-Risalah. Bahkan salah seorang muridnya mengarang Musnad Imam asy-Syafi’i yang diringkasnya dari hadits-hadits yang diriwayatkan beliau di dalam kitab-kitabnya sehingga kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Musnad asy-Syafi’i, begitu pula kitab as-Sunnan. Sedangkan Imam Ahmad memang dikenal sebagai tokoh utama Ahli hadits dan justeru tidak diketahui kalau beliau ada mengarang buku dalam masalah fiqih. Hanya saja perlu diketahui, bahwa beliau juga terhitung sebagai Ahli fiqih. Beliau melarang para muridnya menulis sesuatu dengan hanya berpedoman pada akal semata dan menganjurkan mereka menulis hadits. TANYA Apa perbedaan antara ungkapan “Haddatsana” [Fulan telah menceritakan kepada kami] dan “Akhbarana” [Fulan telah memberitahukan kepada kami]? JAWAB Di dalam tata cara Talaqqi mentransfer, menerima hadits, para ulama hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung dari Syaikh Guru dan yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh menceritakan tentang hadits, baik dari hafalannya atau pun dari kitab tulisan-nya dan membacakan kepada para murid sementara mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut; maka ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.” Bila seorang penuntut ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini, maka ia harus menggunakan bentuk plural jamak, yaitu “Haddatsanaa” karena berarti ia mentrasfer hadits itu bersama peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya secara pribadi sendirian dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya dengan “Hadtsani” yakni secara sendirian. Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh dengan metode Qiraa`ah, seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya “al-Muwaththa`” kepada salah seorang muridnya, lalu ia si murid membaca dan beliau mendengar; jika si murid ini salah, maka ia menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak ada yang salah, ia terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits dengan metode “al-Ardh” pemaparan dan “Qiraa`ah Ala asy-Syaikh” membaca kepada Syaikh. Mereka para ulama hadits mengungkap dengan lafazh seperti ini secara lebih detail manakala seseorang ingin menceritakan meriwayatkan hadits, maka ia harus mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani” . Maksudnya bahwa ia menerima Mentransfer hadits tersebut bukan dari lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang membacakannya kepada Syaikh tersebut. Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh “Haddatsana” dan lafazh “Akhbarana.” Sebagian Ahli Hadits mengatakan bahwa keduanya sama saja, baik dibacakan kepada Syaikh atau Syaikh sendiri yang membacakannya, semua itu sama saja. Akan tetapi Imam Muslim Rahimahullah tidak menilai hal itu sama saja. Beliau membedakan antara keduanya. Karena itu, dalam banyak haditsnya, kita menemukan beliau memuat hal tersebut. Beliau selalu mengatakan, “Haddatsana….Wa Qaala Fulan, Akhbarana” [Si fulan menceritakan begini….Dan si Fulan [periwayat lain] mengatakan, telah memberitahu kami’ [Akhbarana] , demikian seterusnya. SUMBER Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin Abdullah al-Humaid, TANYA Dari aspek keshahihan, mana yang diunggulkan; Sunan Abi Daud atau kah Sunan an-Nasa`iy? JAWAB Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy dengan maksud ia adalah as-Sunan al-Kubra, maka Sunan Abi Daud lebih shahih daripadanya. Sedangkan bila yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy di sini adalah kitab al-Mujtaba, di sini perlu didiskusikan kembali pendapat tadi. Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy, maka akan jelas bagi kita bahwa ia Sunan an-Nasa`iy yang dinamakan dengan al-Mujtaba sekarang ini –yang nampak bagi saya- bukanlah karangan Imam an-Nasa`iy sendiri. Ia merupakan karangan Ibn as-Sunny yang tidak lain adalah salah seorang periwayat kitab Sunan an-Nasa`iy. Secara umum, yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy adalah as-Sunan al-Kubra. Karena itu, sebagian orang dari satu sisi, menilai sisi kebagusan hadits-haditsnya atau membuang hadits-hadits Mawdlu’ palsu dan Munkar yang ada pada Sunan an-Nasa`iy yang disebut al-Mujtaba alias as-Sunan ash-Shughra sebagaimana yang dikatakan sebagian orang, karena mengira ia merupakan karangan Imam an-Nasa`iy. Yang menjadi indikasi untuk semua itu, bahwa kitab al-Mujtaba artinya, ringkasan, intisari-red., dari sisi hadits-haditsnya memang lebih bagus mengesankan daripada as-Sunan al-Kubra akan tetapi apakah benar Imam an-Nasa`iy yang meringkas/mengintisarinya dari hadits-hadits tersebut sehingga dinamai al-Mujtaba-red., atau orang selain dia?. Hal ini akan kami jelaskan sebentar lagi, insya Allah. Yang jelas, bila kita membanding-bandingkan antara al-Mujtaba dan Sunan Abi Daud, maka pembandingan ini –menurut saya- butuh kajian yang serius dan teliti. Sebab, sementara orang ada yang langsung saja menyatakan bahwa Sunan Abi Daud lebih unggul. Sikap seperti ini banyak diambil oleh para ulama terdahulu. Setiap orang yang membicarakan Sunan Abi Daud, pasti ia akan mengunggulkannya atas kitab-kitab lainnya bahkan sebagian mereka ada yang mengunggulkannya atas Shahih Muslim akan tetapi pendapat ini tidak benar. Sebagian orang lagi, khususnya di zaman sekarang ini, kita menemukan ada orang yang berusaha mengunggulkan Sunan an-Nasa`iy atas Sunan Abi Daud. Menurut saya, bila ijtihad-ijtihad seperti ini keluar dari seseorang yang ingin agar ucapannya tepat, maka hendaknya berpijak pada ucapan yang ilmiah atau metode ilmiah yang komprehensif dengan cara melakukan penelitian terhadap Sunan Abi Dauddan Sunan an-Nasa`iyyang bernama al-Mujtaba itu, kemudian melihat jumlah hadits-hadits yang dimuat di masing-masing kitab tersebut, lalu jumlah hadits yang dikritisi dari masing-masingnya; berapa persentasenya secara keseluruhan untuk masing-masing kitab. Dari situ, akan kita dapatkan persentase hadits-hadits yang dikritisi di dalam kitab Sunan Abi Dauddan juga di dalam kitab Sunan an-Nasa`iy. Selain itu, hadits-hadits yang dikritisi ini juga bisa diklasifikasi lagi antara yang Dla’if, Dla’if Sekali dan Kemungkinan Dla’if masih fity-fifty. Masing-masingnya perlu dibubuhkan berapa persentasenya. Di samping itu, perlu juga dilihat; apakah pengarang kitab menjelaskan dan mengomentari hadits-hadits yang dikritisi tersebut atau kah tidak? Sebab, Abu Daud dan an-Nasa`iy ada mengomentari sebagian hadits. Kemudian, dilihat pula berapa persentase komentar yang dikeluarkan masing-masing pengarang kitab terhadap hadits-hadits yang dikritisi tersebut. Setelah itu, barulah kita dapat mengeluarkan gambaran yang jelas melalui penelitian yang seksama, apakah Sunan Abi Daudyang lebih bagus mengesankan atau kah sebaliknya? Inilah pendapat saya mengenai hal ini. TANYA Apa makna Thariiq’ Sanad? Dan apa pula makna matan? Tolong berikan contohnya. JAWAB Makna Thariiq Sanad adalah mata rantai jalur para periwayat yang menghubungkan matan. Sedangkan Matan adalah ucapan teks setelah sanad. Contohnya, hadits yang dikeluarkan al-Bukhary, Muslim dan Abu Daud lafaznya diambil dari Abu Daud; Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, ia berkata, Hammad menceritakan kepada kami, ia berkata, dari Ayyub, dari Nafi’ dari Ibn Umar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu larang para wanita hamba Allah untuk memasuki masjid-masjid Allah.” Mata rantai orang-orang yang meriwayatkan mulai dari Sulaiman hingga Ibn Umar dinamakan sanad/thariiq sedangkan ucapan Rasulllah SAW setelah itu dinamakan matan’.-red TANYA Berapa jumlah hadits di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Yang Dikritik Imam ad-Daaruquthni? JAWAB Secara global ada sekitar dua ratusan hadits. Terhadap Shahih al-Bukhari sebanyak 110 hadits, termasuk 32 hadits yang juga dikeluarkan oleh Imam Muslim. Dan terhadap Shahih Muslim sebanyak 95 hadits termasuk di dalamnya hadits yang dikeluarkan juga oleh Imam al-Bukhari. Silahkan lihat, mukaddimah kitab Fat-hul Bari karya al-Hafizh Ibn Hajar dan Risaalah Bayna al-Imaamain; Muslim Wa ad-Daaruquthni karya Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali serta Risaalah al-Ilzaamaat Wa at-Tatabbu’ karya Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy. TANYA Apakah Imam ad-Daaruquthni mengeritik seluruh aspek? JAWAB Kritikannya tidak meliputi semua aspek, sebagian yang dinyatakannya ada benarnya dan sebagian lagi keliru. Terkadang –bahkan seringkali- ia hanya mengeritik sisi sanad jalur transmisi hadits tanpa matan teks-nya. NB Sekalipun demikian, adanya kritik ini tidak mengurangi atau pun mempengaruhi kesepakatan umat Islam untuk menerima hadits-hadits dalam shahih al-Bukhari dan Muslim dan penilaian bahwa keduanya adalah yang paling benar setelah al-Qur’an al-Karim-red. SUMBER As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya Syaikh Mushthafa al-Adawy, TANYA Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang hanya membatasi diri pada kitab ash-Shahihain Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim saja tanpa mau melirik kepada kitab-kitab sunnah yang lain? Apakah al-Bukhari dan Muslim mensyaratkan untuk mengeluarkan semua hadits yang shahih saja? JAWABTidak dapat disangkal lagi, bahwa pendapat itu jauh dari benar bahkan bisa terjerumus ke dalam kesesatan karena sama artinya dengan menolak sunnah Rasulullah SAW. Al-Bukhari dan Muslim tidak mensyaratkan untuk mengeluarkan semua hadits yang shahih saja. Seperti yang diinformasikan para ulama dari al-Bukhari, bahwa ia pernah berkata, “Aku hafal 100 ribu hadits shahih.” Para ulama itu juga menukil darinya yang mengatakan, “Tapi aku tinggalkan hadits-hadits lain yang shahih karena khawatir terlalu panjang bertele-tele.” Al-Bukhari sendiri telah menshahihkan sendiri hadits-hadits yang bukan shahih. Hal ini nampak secara jelas sekali dalam pertanyaan-pertanyaan at-Turmudzi kepadanya seperti yang terdapat di dalam Sunan at-Turmudzi. Para ulama juga menukil dari Muslim hal serupa di mana ia pernah mengatakan, “Bukan segala sesuatu yang menurutku shahih lalu aku muat di sini.” Jadi, tidak dapat diragukan lagi kebablasan orang yang hanya membatasi diri pada kitab ash-Shahihain saja dan menolak kitab selain keduanya. SUMBER As’ilah Wa Ajwibah Fii Mustholah al-Hadiits karya Musthafa al-Adawi, TANYA Bagaimana kita mengenali seorang shahabat? JAWAB Kita mengenalinya melalui salah satu dari hal-hal berikut 1. Tawaatur Pemberitaan tentangnya secara mutawatir alias mustahil terjadi kebohongan karena banyaknya periwayat terpercaya menyatakan hal itu; apakah ada orang yang meragukan Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab RA sebagai shahabat? Jawabannya, tentu, tidak.! 2. Syuhrah Ketenaran dan banyaknya riwayat yang mengisahkannya melalui beberapa hal. Contohnya, Dhimaam bin Tsa’lbah RA yang tenar dengan hadits kedatangannya menemui Nabi SAW, Ukasyah bin Mihshan RA yang kisahnya dijadikan permisalan/pepatah yaitu ucapan Rasulullah SAW, “Sabaqoka Ukaasyah’ ; Ukasyah sudah terlebih dulu darimu-red.* 3. Dimuatnya hal itu dalam hadits yang shahih, seperti ada salah satu hadits menyebutkan bahwa Nabi SAW didatangi oleh si fulan bin fulan atau hadits tersebut bersambung sanadnya kepada seorang laki-laki yang menginformasikan bahwa si fulan termasuk orang-orang yang mati syahid dalam perang bersama Rasulullah SAW. Atau informasi apa saja dengan cara tertentu bahwa orang ini atau itu sudah terbukti Shuhbah-nya bertemu dan beriman dengan Rasulullah SAW dan mati dalam kondisi itu. 4. Penuturan tertulis dari seorang Tabi’i generasi setelah shahabat bahwa si fulan adalah seorang shahabat. Yaitu seperti ia mengucapkan, “Aku mendengar salah seorang shahabat Nabi SAW, yaitu si fulan bin fulan.” 5. Penuturan shahabat itu sendiri bahwa ia bertemu Nabi SAW, seperti perkataannya, “Aku mendengar Nabi SAW bersabda begini dan begitu.” Atau “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menemani bershahabat dengan Nabi SAW.” Tetapi hal ini perlu beberapa syarat, di antaranya ia seorang yang adil pada dirinya. Klaimnya tersebut memungkinkan; bila kejadian ia mengklaim hal itu sebelum tahun 110 H maka ini memungkinkan sedangkan bila ia mengklaimnya setelah tahun 110 H, maka klaimnya tersebut tertolak sebab Nabi SAW telah menginformasikan di akhir hayatnya, “Tidakkah aku melihat kalian pada malam ini? Sesungguhnya di atas 100 tahun kemudian dari malam ini, tidak ada lagi seorang pun yang tersisa di atas muka bumi ini.” I211, Muslim, Abu Daud, Ini merupakan argumentasi paling kuat terhadap orang yang mengklaim nabi Khidhir masih hidup hingga saat ini segaimana klaim kaum Sufi di mana salah satu dari mereka sering mengaku telah bertemu nabi Khidhir dan berbicara secara lisan dengannya.!? Intermezzo Seorang laki-laki India bernama Rotan pada abad VI mengaku bahwa dirinya adalah shahabat Nabi SAW dan dia telah dipanjangkan umurnya hingga tanggal tersebut. Kejadian itu sempat menggemparkan masyarakat kala itu. Maka, para ulama pada masanya atau pun setelahnya membantah pengakuannya tersebut. Di antaranya, al-Hafizh adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul “Kasr Watsan Rotan.” Pepatah tersebut diungkapkan orang Arab untuk menyatakan ketidak beruntungann seseorang dalam memperoleh sesuatu karena sudah ada orang lain yang lebih dahulu memperolehnya. Seperti misalnya, bila ada seseorang memberikan hadiah kepada seseorang yang bisa menjawab pertanyaannya, lalu ada yang menjawabnya sedangkan hadiah itu hanya untuk satu orang saja. Kemudian ada orang lain meminta diberi pertanyaan lagi agar dapat menjawabnya dan memperoleh hadiah. Maka orang yang memberikan itu tadi, mengatakan kepadanya pepatah tersebut. Artinya, terlambat, si fulan sudah terlebih dahulu kamu sudah keduluan sama si fulan.!!, wallahu a’lam-red SUMBER Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Sa’d bin Abdullah Al Humaid, 106-107 JAKARTA - Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa`id dan Abu Hurairah mengatakan "Tidaklah keletihan, penyakit, kegelisahan, kesedihan, sakit hati, dan kesusahan yang menimpa seorang muslim, sekalipun tusukan duri yang diterimanya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dosanya dengan itu” HR Bukhari dan Muslim.Dunia ini tidak lebih dari sebuah ujian di mana semua manusia pasti akan menghadapi beberapa kesulitan dan tantangan yang mengungkapkan kesabaran dan keteguhan mereka. Bentuk ujian ini banyak dan beragam, ada orang yang menderita kemiskinan, ada yang menderita penyakit fisik, ada yang hidup dalam keadaan tidak aman, ada yang kehilangan orang yang mereka sayangi dan cintai, dan ada pula yang menderita gangguan kejiwaan. Dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 155-157 pun disebutkan, وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَKami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah wahai Nabi Muhammad, kabar gembira kepada orang-orang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ūn” sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali. Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat ayat diatas Allah berfirman dalam surat Al Mulk ayat 2,الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُYaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa lagi Maha kesulitan tidak dapat dihindari, Islam tidak membiarkannya berlalu begitu saja tanpa bimbingan yang tepat tentang sikap yang paling tepat. Hadits di atas mengungkapkan salah satu dimensi resep Islam untuk berhasil menghadapi tantangan menyeimbangkan efek negatif yang ditimbulkan oleh penderitaan, Islam mengajarkan kita tentang hikmah dibalik penderitaan. Masalah berfungsi sebagai sarana untuk menebus dosa dan mengangkat derajat orang beriman di optimis dan positif ini melindungi seseorang dari keputusasaan dan kesedihan. Di sini, tepat untuk mengutip beberapa hadits Nabi yang menekankan konsep ini,Abu Yahya Suhaib bin Sinan menceritakan bahwa Rasulullah mengatakan "Betapa indahnya seorang beriman; ada kebaikan baginya dalam segala hal dan ini hanya berlaku bagi seorang mukmin. Jika kemakmuran menyertainya, dia bersyukur kepada Allah dan itu baik baginya; dan jika kesulitan menimpanya, dia menanggungnya dengan sabar dan itu baik baginya” Muslim.Dalam hadits lain Abu Hurairah menyebutkan Rasulullah berkata, "Barangsiapa yang Allah kehendaki baik, Dia membuatnya menderita beberapa penderitaan" Al-Bukhari.Abu Hurairah menyebutkan bahwa seorang muslim, pria atau wanita, terus berada di bawah ujian dalam hal kehidupan, harta, dan keturunannya sampai dia menghadap Allah Yang Maha Tinggi, tanpa catatan dosa” At-Tirmidzi.Hadits di atas tidak boleh disalahartikan sebagai ajakan untuk berputus asa. Pesan yang disampaikan hadits adalah bahwa setiap muslim harus mengharapkan kesulitan dan bersiap untuk menghadapinya. Karena itu, orang beriman menghadapi kesulitan dengan hati yang berani, mereka mempercayai kebijaksanaan Allah dan percaya pada rahmat-Nya dan mereka tahu bahwa ujian ini bermanfaat. Bandingkan sikap itu dengan perasaan bahwa seseorang sendirian di dunia ini, menghadapi tantangan beratnya yang terisolasi dari sumber dukungan atau bantuan apa pun. Jadi, hadis-hadis ini dimaksudkan untuk menanamkan harapan dan semangat kepada Muslim dan mengusir pikiran-pikiran tentang kegagalan dan keputusasaan. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang mereka, kita harus mempertimbangkannya berdasarkan hadits berikut,Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan keduanya apa yang bermanfaat dan teruslah meminta pertolongan Allah dan jangan Anda menderita dengan cara apa pun, jangan katakan 'Jika saya mengambil langkah ini atau itu, itu akan menghasilkan ini dan itu,' tetapi katakan saja 'Allah telah menentukan dan melakukan apa yang Dia kehendaki.' Kata 'jika' membuka gerbang setan pikiran” Muslim.Hadits ini sejalan dengan peringatan Nabi kepada sepupunya Ibn `Abbas ra dengan dia bahwa dengan kesabaran datang kemenangan, dengan kesusahan datang kemudahan, dan dengan kesulitan datang hal ini, satu ide bisa menjadi sumber kekhawatiran dan gangguan. Bagaimana kita bisa mendekati penderitaan dengan optimisme seperti itu ketika itu adalah tanda yang jelas dari murka Allah dan manifestasi dari hukuman-Nya? Bukankah Allah berfirman, dalam AsybSyura ayat 30وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍMusibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan banyak kesalahanmu.Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui banyak orang, terutama yang sedang berlatih, ketika mereka ditimpa musibah, kehilangan orang yang disayang, atau dijangkiti penyakit. Masalahnya, dalam banyak kasus, pikiran ini menjadi sumber frustrasi dan menjadi pendorong untuk bertobat dan mendekatkan diri kepada-Nya, gagasan itu kadang-kadang menjadi faktor yang melemahkan semangat. Nah, mari kita lihat bagaimana para Sahabat memandang ayat di atas dan bagaimana mereka menyikapinya secara positif dan komentarnya tentang ayat di atas, Imam Al-Qurtubi menjelaskan ayat ini adalah yang paling membangkitkan harapan di dalam Al Quran, jika dosa-dosa saya ditebus melalui penderitaan dan bencana, dan di atas itu, Allah akan mengampuni banyak dosa lainnya, lalu apa yang tersisa setelah penebusan dan pengampunan tersebut?”Benar, malapetaka hidup membuat hati hancur dan orang-orang terkasih kehilangan, tetapi orang percaya yang cerdas tahu bagaimana mengubahnya menjadi sumber tekad dan sumber hadits shahih yang indah di mana Nabi memberi tahu kita bahwa orang-orang yang menghadapi cobaan terberat adalah para nabi, kemudian orang-orang di sisi mereka dan lalu selanjutnya. Setiap orang akan diuji menurut kadar keimanannya, orang yang memiliki iman yang kuat akan mengalami cobaan yang keras dan orang yang imannya lemah akan menerima cobaan yang lemah. Dan kesengsaraan itu akan meliputi seseorang sampai dia bebas dari dosa sama sekali. Hadits Dalam Ash-Shahihain Yang Manakah Yang Dihukumi Dengan Hukum “Shahih”? Telah berlalu penjelasan yang mengatakan bahwa imam al-Bukhari dan Muslimrahimahumullah tidaklah memasukkan ke dalam kitab Shahihnya kecuali hadits-hadits yang shahih saja dan bahwasanya umat Islam secara keseluruhan sepakat untuk menerima hadits-hadits tersebut. Namun hadits-hadits seperti apakah yang dihukumi dengan hal tersebut? Jawabnya adalah Bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh keduanya al-Bukhari dan Muslim dengan sanad yang bersambung, maka itulah yang dihukumi dengan hukum shahih. Adapun yang dihapus satu perawinya atau lebih di awal sanadnya -Yang dikenal dengan nama Mu’alaq, dan ia Mu’alaq banyak terdapat di Shahih al-Bukhari, namun hanya ada di judul bab dan Muqaddmah pembukaan saja, tidak ada sedikitpun di inti bab. Adapun dalam Shahih Muslim, maka hanya ada satu hadits, yaitu yang ada di bab Tayammum dan tidak diriwayatkan dengan sanad bersambung di tempat lain,-, maka hukumnya sebagai berikut Pertama Yang diriwayatkan dengan redaksi jazm kata kerja aktif, seperti قَالَ dia mengatakan, أَمَرَ dia memerintahkan dan ذَكَرَ dia menyebutkan, maka sanad tersebut dinyatakan shahih disandarkan kepada orang yang mengucapkannya. Kedua Yang diriwayatkan dengan redaksi tidak jazm kata kerja pasif, seperti قِيلَdikatakan, أمِرَ diperintahkan dan ذُكِرَ disebut kan, maka ia tida bisa hukumi shahih disandarkan kepada orang yang mengucapkannya. Namun demikian tidak ada status hadits Wahin sangat lemah dalam hadits-hadits tersebut, dikarenakan keberadaannya di kitab yang dinamai oleh penulisnya al-Bukhari dan Muslim “ash-Shahih.” Apa Tingkatan-tingkatan Hadits Shahih? Telah berlalu penjelasan yang mengatakan bahwa sebagian ulama menyebutkan sanad yang paling shahih yang ada pada mereka. Maka berdasarkan pada hal itu, dan pada keberadaan syarat-syarat yang lain dari hadits Shahih, maka kita dapat mengatakan bahwa hadits Shahih memiliki tingkatan. Pertama Yang paling tinggi adalah apa yang diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih,seperti raiwayat dengan sanad dari Malik, dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma. Kedua Yang di bawah tingkatan itu adalah yang diriwayatkan dari jalur para perawi yang mereka lebih rendah kedudukannya dibandingkan para perawio yang pertama. Seperti riwayat Hammad bin Salamah rahimahullah dan Tsabit rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu. Ketiga Yang lebih rendah tingkatannya dari itu adalah apa yang diriwayatkan oleh para perawi yang pada dirinya terdapat sifat tsiqah yang paling rendah tingkatannya. Seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih rahimahullah dari bapaknya rahimahullah dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Dan digabungkan dengan perincian di atas pembagian hadits shahih menjadi tujuh tingkatan, yaitu 1. Pertama Yang disepakati keshahihannya oleh imam al-Bukhari dan Muslimrahimahumallah, dan ini adalah tingkatan yang paling tinggi. 2. Kedua Yang diriwayatkan sendirian oleh imam al-Bukhari rahimahullah. 3. Ketiga Yang diriwayatkan sendirian oleh imam Muslim rahimahullah 4. Keempat Yang sesuai dengan syarat keduanya syarat al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitab mereka berdua. 5. Kelima Yang sesuai dengan syarat al-Bukhari rahimahullah, namun beliau tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya 6. Keenam Yang sesuai dengan syarat Muslim rahimahullah , namun beliau tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya 7. Ketujuh Hadits shahih yang ada pada kitab selain keduanya dari kalangan para Imam ahl hadits seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban rahimahumallah dari hadits-hadits yang tidak sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim. Apa Yang Dimaksud Syarat Syaikhain Syarat al-Bukhari dan Muslim? Asy-Syaikhani/Asy-Syaikhain al-Bukhari dan Muslim keduanya tidak menyatakan secara tegas gamblang tentang syarat yang keduanya persyaratkan atau yang keduanya tetapkan sebagai tambahan dari syarat-syarat yang telah disepakati dalam hadits shahih. Namun dari penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh para peneliti dan pengkaji dari kalangan ulama terhadap uslub metode keduanya, nampak mereka bagi sesuatu, yang masing-masing dari mereka mengira bahwa itu adalah syarat keduanya atau syarat salah satu dari keduanya. Dan perkataan yang paling baik dalam masalah ini adalah”Bahwasanya yang dimaksud dengan syarat Syaikhain atau salah satu dari keduanya adalah, bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari jalur para perawi yang ada di kedua kitab tersebut Shahih al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya, dengan tetap memperhatikan kepada cara/metode yang dipegang teguh oleh keduanya dalam meriwayatkan hadits dari mereka.” Apa Makna Ucapan Para Ulama “Muttafaqun Alaihi”? Apabila para ulama hadits berkata tentang sebuah hadits” Muttafaqun Alaihi”, maka maksud mereka adalah kesepakatan asy-Syaikhain, yakin sepakatnya Syaikhain tentang shahihnya hadits tersebut, bukan kesepakatan seluruh ummat. Hanya saja Ibnu Shalah rahimahullah berkata”Akan tetapi kesepakatan ummat terhadapnya hadits itu adalah sesuatu yang sudah menjadi keniscayaan dari hal itu, dan menjadi kesimpulan dari perkataan itu, dikarenakan kesepakatan mereka ummat untuk menerima hadits-hadits yang disepakati shahih oleh keduanya” Apakah Hadits Shahih Diharuskan Berasal Dari Haidts Aziz Yang benar adalah bahwa tidak dipersyaratkan dalam hadits Shahih statusnya sebagai hadits Aziz hadits yang diriwayatkan oleh minimal dua orang perawi dalam tiap-tiap thabaqat sanad, artinya hendaknya hadits itu memiliki dua sanad. Hal ini karena ada di dalam -Shahihain dan kitab-kitab hadits-hadits yang shahih namun ia Gharib hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi dalam salah satu thabaqat sanadnya. Dan sebagian ulama mengira hal itu mengira bahwa syarat hadits shahih adalah harus berstatus Aziz, seperti Abu Ali al-Jubba’i al-Mu’tazili, dan Imam al-Hakim. Dan perkataan mereka ini menyelishi kesepakatan ummat. Sumber تيسير مصطلح الحديث karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, dengan sedikit tambahan. Maktabah Ma’arif, Riyadh, halaman 42-44. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono Hadits sahih ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang berkualitas dan tidak lemah hafalannya, di dalam sanad dan matannya tidak ada syadz dan Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits menjelaskan hadits sahih adalah sebagai berikutما اتصل سنده بنقل العدل الظابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علةArtinya, “Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya syadz dan illah.”Dilihat dari definisi di atas, terdapat lima kriteria hadits sahih yang harus diperhatikan. Demikian pula ketika ingin mengetahui apakah hadits yang kita baca atau dengar sahih atau tidak, lima kriteria tersebut menjadi panduan utama. Kalau kelima kriteria itu ada dalam sebuah hadits, maka haditsnya sahih. Kalau tidak ada salah satunya berati hadits dijelaskan Mahmud At-Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits, kelima kriteria tersebut adalah sebagai berikutKetersambungan SanadKetersambungan sanad ittishâlul sanad berati masing-masing perawi bertemu antara satu sama lain. Salah satu cara yang digunakan untuk membuktikan masing-masing rawi bertemu ialah dengan cara melihat sejarah kehidupan masing-masing perawi, mulai dari biografi guru dan muridnya, tahun lahir dan tahun wafat, sampai rekaman Adil KredibilitasSetelah mengetahui ketersambungan sanad, langkah berikutnya adalah meneliti satu per satu biografi perawi dan melihat bagaimana komentar ulama hadits terhadap pribadi mereka. Perlu diketahui, adil adalah yang dimaksud di sini berkaitan dengan muruah atau nama yang semasa hidupnya pernah melakukan perbuatan yang melanggar moral dan merusak muruah, hadits yang diriwayatkannya tidak bisa diterima dan kualitasnya Perawi KuatSelain mengetahui muruah perawi, kualitas hafalannya juga perlu diperhatikan. Kalau hafalannya kuat, kemungkinan besar haditsnya sahih. Tapi kalau tidak kuat, ada kemungkinan hadits tersebut hasan, bahkan Ada SyadzSyadz berati perawi tsiqah bertentangan dengan rawi lain yang lebih tsiqah darinya. Misalkan, ada dua hadits yang saling bertentangan maknanya. Untuk mencari mana kualitas hadits yang paling kuat, kualitas masing-masing perawi perlu diuji, meskipun secara umum sama-sama tsiqah. Dalam hal ini, perawi yang paling tsiqah dan kuat hafalannya lebih demikian, untuk memastikan kesahihan hadits, perlu dikonfirmasi dengan riwayat lain, apakah tidak bertentangan dengan hadits lain atau Ada IllahIllah yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang dapat merusak kesahihan hadits, namun tidak terlalu kelihatan. Maksudnya, ada hadits yang dilihat sekilas terkesan sahih dan tidak ditemukan cacatnya. Namun setelah diteliti lebih dalam, ternyata di situ ada sesuatu yang membuat kualitas hadits menjadi lemah. Hal ini dalam musthalah hadits diistilahkan dengan lima kriteria yang perlu diperhatikan pada saat menguji apakah sebuah hadits sahih atau tidak. Kalau hilang salah satu dari lima kriteria tersebut, kualitas hadits bisa jatuh pada hadits riwayat Al-Bukhari tentang Rasulullah membaca Surat At-Thur saat magrib. Al-Bukhari meriwayatkan hadits sebagai berikutحدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ في المغرب بالطورArtinya, “Abdullah bin Yusuf meriwayatkan dari Malik bin Anas, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair , dari Muhammad bin Jubair bin Math’am, dari bapaknya Jubair bin Math’am yang berkata, Saya mendengar Rasulullah membaca Surat At-Thur saat magrib,’” HR Al-Bukhari.Riwayat di atas dihukumi sahih oleh para ulama hadits karena memenuhi kriteria hadits sahih. Dilihat dari ketersambungan sanad, masing-masing perawi terbukti bertemu antara satu sama lain; dilihat dari kualitas perawi semuanya dhabit dan adil; serta tidak terdapat syadz dan illat dalam sanad hadits. Wallahu alam. Hengki Ferdiansyah Pertanyaan Tentang Hadits Yang Paling Shahih Syaikh Sa’d bin Abdullah Al Humaid ditanya tentang pertanyaan seorang pemuda berikut “Saya seorang pemuda yang memiliki ghirah tinggi terhadap Islam, menjaga shalat dan rukun-rukunnya. Pertanyaan saya, manakah hadits yang paling shahih?”. Maka beliaupun menjawab Kami katakan, kami memohon kepada Allah Jalla wa Ala bagi kami dan seluruh saudara-saudara kita, kaum Muslimin agar dianugerai ketegaran untuk tetap istiqamah. Adapun mengenai hadits-hadits shahih, maka melalui pertanyaan anda, nampak bagi saya, bahwa anda adalah seorang penuntut ilmu pemula. Orang seperti anda, tentu tidak bisa membedakan sendiri, mana hadits yang shahih dan mana yang tidak melalui jalur kajian sanad. Oleh karena itu, anda harus antusias untuk menggunakan kitab-kitab yang konsisten memilah mana hadits yang shahih. Bila anda menemukan sebuah hadits dirujuk kepada kitab ash-Shahihain Shahih al Bukhari dan Muslim atau salah satu dari keduanya, maka ini baik. Atau bila anda mendapatkan salah seorang ulama yang diakui kapasitas keilmuannya menshahihkannya, maka ini baik. Di antaranya, pentash-hihan yang dilakukan Syaikh Nashiruddin al Albani, sekalipun tidak seorang pun yang dapat terhindar dari kritikan dan sorotan. Yang penting, beliau memang demikian mengabdikan dirinya untuk Sunnah Nabi Sallallahu Alahi Wasallam. Orang seperti anda juga perlu mengambil buku-buku yang konsisten memilah mana hadits yang shahih. Artinya, anda tidak boleh menerima begitu saja setiap hadits yang diriwayatkan, menyampaikan sebuah hadits yang dikatakan kepada anda atau menerima hadits dari buku apa saja yang anda lihat. Hendaknya anda berhati-hati. Sebab Nabi Sallallahu Alahi Wasallam bersabda مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ “Barangsiapa meriwayatkan suatu hadits dariku dan dia tahu bahwa itu adalah dusta, maka dia adalah salah satu dari para pendusta” Dalam sebagian riwayat disebutkan, ”…maka ia termasuk salah seorang tukang banyak dusta.” Dalam hal ini, silahkan merujuk kepada mukaddimah Shahih Muslim, sebab beliau mengetengahkan apa yang semestinya dijadikan dalil dalam masalah seperti ini, khususnya dari pendapat-pendapat para ulama dalam memperingatkan tindakan meriwayatkan hadits tanpa mengetahui mana yang shahih dan mana yang tidaknya.? Sebab hal ini dianggap sebagai mengatakan sesuatu terhadap Allah dan Nabi-Nya tanpa ilmu.” Wallahu A’lam. SUMBER Fatawa Haditsiyyah karya Syaikh Sa’d bin Abdullah Al Humaid, Check Also Berapa Jumlah Syarah Shahih al Bukhari? Kita semua mengetahui bahwa Shahih Bukhari merupakan kitab hadits yang mendapatkan perhatian sangat luas dari …

pertanyaan sulit tentang hadits shahih